Jakarta - Rencana pengelolaan pajak oleh sebuah badan khusus di bawah presiden mendapat apresiasi dan bahkan dianggap sangat krusial untuk dilaksanakan di Pemerintahan mendatang dengan segera.
Yustinus Prastowo, analis Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Jakarta, menjelaskan penerimaan pajak adalah sumber pendapatan negara terbesar, mencapai 75 persen penerimaan APBN.
Mencermati penerimaan pajak dalam RAPBN 2015, dia menilai pemerintahan baru nanti akan menanggung risiko penyempitan ruang fiskal karena potensi perlambatan ekonomi mengancam pertumbuhan penerimaan pajak menuju titik nadir. Yaitu di bawah dua digit alias di bawah 10%.
"Karena itu, di tengah aneka ikatan yang membelenggu, rencana pengelolaan pajak oleh badan tersendiri setingkat kementerian di bawah Presiden merupakan gagasan yang baik dan patut diapresiasi," tegas Yustinus kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (23/8).
Dengan itu, lanjutnya, Pemerintahan baru akan melakukan reformasi sistem perpajakan secara menyeluruh, yang menyentuh aspek kebijakan, ketentuan, maupun administrasi. Sekaligus menyusun skala prioritas dan standar capaian kinerja yang terencana, terarah, dan terukur.
"Kebijakan perpajakan 5 tahun ke depan harus mencerminkan perimbangan penegakan hukum, perlindungan hak wajib pajak, pelayanan prima, dan redistribusi pendapatan yang lebih baik melalui penyediaan infrastruktur dan layanan dasar bermutu," jelasnya.
Sebagai catatan untuk memperkuat gagasan itu, Yustinus menjelaskan bahwa selama 10 tahun Pemerintahan Presiden SBY, tax ratio atau perbandingan penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), hanya sebesar 12,3 persen. Itu naik 0.2 persen saja dari kondisi 2004.
Kondisi demikian berada di bawah rerata tax ratio Negara sebaya (lower-middle income countries) yang sebesar 17,7 persen. Padahal standar tax ratio untuk mencapai tujuan pembangunan millenium sebesar 25 persen.
"Bahkan Indonesia di bawah Negara-negara ASEAN seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Kondisi ini amat memprihatinkan karena kebutuhan pembiayaan pembangunan yang amat besar tidak diikuti peningkatan penerimaan pajak yang signifikan," jelasnya.
Yustinus menekankan bahwa rendahnya tax ratio mencerminkan tidak adanya peta jalan pembentukan sistem perpajakan nasional yang baik. Hal itu tercermin dalam fakta bahwa target penerimaan pajak dalam 4 tahun terakhir tidak pernah tercapai. Selain itu, penambahan jumlah wajib pajak melambat, dimana baru mencapai sekitar 25 juta pada 2013 dari 60 juta penduduk potensial.
"Selain itu, tingkat kepatuhan pajak masih rendah, hanya di bawah 50 persen pada 2012-2013. Selain itu, masih marak praktik penghindaran pajak, dan tingkat korupsi di institusi pemungut pajak yang masih tinggi," ujarnya.
Maka tak mengherankan bila penetapan tax ratio di RAPBN 2015 sebesar 12,3 persen tidak sekedar konservatif, tetapi juga menunjukkan kemalasan Pemerintah berinovasi dan berkreasi. Sumber-sumber potensi penerimaan pajak belum dipetakan secara baik dan upaya pemungutan pajak belum dilakukan dengan optimal, jelas Yustinus.
"Hal ini tampak dalam timpangnya tax ratio sektoral, terutama sektor-sektor unggulan yang berkontribusi besar terhadap PDB seperti perkebunan dan kehutanan, pertambangan, konstruksi, dan jasa," ujarnya.